Label

Rabu, 28 Mei 2014

Kerikil Tajam Dilintasan Pejuang Estafet Bangsa Dalam Menyuarakan Aspirasi Nasionalisme


 (Rahma Nur Auliasari)

“Apabila seseorang ingin menjajah suatu bangsa maka jajahlah komponen terpenting dari suatu bangsa tersebut, yakni generasi muda. Gunakanlah hal-hal yang dapat merusak sifat moralitas dari kaum muda tersebut.”

Pepatah tersebut menunjukan betapa pentingnya generasi muda dari suatu bangsa. Ibarat permainan estafet, generasi muda adalah pelari kedua yang siap berjuang membawa tongkat estafet pembangunan dari pelari pertama yang perlahan akan mundur dari jalur pertandingan. Pelari pertama hanya bisa memperjuangkan untuk memberikan tongkat estafet perjuangan dan berharap agar pelari-pelari selanjutnya, yakni generasi muda dapat membawa tongkat estafet menuju garis final yang diidam-idamkan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Di dalam masyarakat, pemuda merupakan satu identitas yang potensial. Kedudukannya yang strategis sebagai penerus cita – cita perjuangan bangsa dan sumber insani bagi pembangunan bangsanya.
Dewasa ini sedang hangat-hangatnya pemberitaan mengenai kekerasan sekaligus pelecehan seksual pada anak dibawah umur. Kejadian tersebut adalah salah satu kejadian yang baru muncul kepermukaan dan menjadi buming seantero Indonesia. Fenomena tersebut setidaknya menjadi cambukan hebat terhadap para orangtua untuk selalu mengawasi setiap sisi keseharian mereka. Mengapa? Karena mereka adalah salah satu generasi penerus bangsa. Walaupun waktunya terhitung masih lama. Namun akan ada waktu dimana merekalah yang akan memangku dan mengemudikan roda pemerintahan Indonesia. Alangkah lucunya apabila para generasi penerus bangsa tersebut memiliki akhlak dan mental yang bobrok jauh sebelum mereka mengerti tentang Negara ini.

Generasi Muda
Berbicara mengenai pejuang estafet bangsa, yah bisa dikatakan pejuang estafet bangsa adalah generasi muda, apa yang dimaksud dengan generasi muda? Generasi muda adalah kelompok, golongan, angkatan, kaum muda yang hidup dalam jangka waktu tertentu, dimana mereka memiliki tugas untuk melanjutkan pembangunan bangsanya sebagaimana tugas-tugas para angkatan yang hidup sebelum mereka[1].
Pada sensus penduduk tahun 2010,tercatat remaja di Indonesia mencapai 147.338.075 jiwa atau 18,5% dari seluruh penduduk Indonesia[2]. Bisakah Anda bayangkan, betapa banyaknya remaja di Indonesia. Remaja-remaja atau yang bisa kita sebut sebagai generasi muda tersebut adalah cikal bakal yang akan menggantikan mereka yang tengah duduk dikursi kekuasaan. Generasi muda inilah yang akan mengharumkan nama bangsa Indonesia ke kanca internasional dari berbagai macam bidang yang berbau internasional.
Kaum muda sangatlah dekat dengan perubahan. Pengaruh-pengaruh yang bersifat positif ataupun negatif sangatlah mudah untuk masuk dan mengubah pola pikiran suatu kaum muda. Kaum muda yang memiliki usia rentang 16-25 tahun, secara biologis pada usia-usia tersebut mereka sedang mengalami masa-masa pencarian jati diri. Semua yang mereka lakukan selalu benar dan tak pernah salah. Namun, pada masa-masa itulah gelora nasionalismenya tumbuh dengan subur. Terbukti dari maraknya mahasiswa yang berpartisipasi dalam demonstrasi masal.
Demokrasi
Indonesia. Indonesia adalah Negara yang berlabelkan demokrasi. Abraham Lycon mengemukakan suatu teori yang berbunyi, “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Sederhana memang kedengarannya. Namun jika kita telaah kembali, teori yang dikemukakan oleh beliau tersebut mengandung banyak manfaat bila kita terapkan dalam kehidupan berbangasa dan bernegara. Teori tersebut menjelaskan bahwa rakyat memegang kuasa penuh atas majunya suatu pemerintahan.
Namun, saat ini teori tersebut berjalan tidak sebagaimana mestinya. Banyak para anggota partai berlomba-lomba mencalonkan diri untuk menjadi wakil rakyat  namun, saat mereka telah terpilih, rakyat seolah hanya sebagai embel-embel untuk mengumbar janji agar mereka bisa menguasai negeri ini. Kehidupan rakyat yang berada diambang garis kemiskinan dirasa tidak sedikit pun mencuri perhatian mereka yang tengah duduk dibangku kekuasaan untuk meperbaiki secuil saja derajat hidup mereka.
Lalu, kemana jalanya teori demokrasi saat ini? Masih adakah mereka yang mau menegakan unsur-unsur demokrasi tersebut.
Apa yang dimaksud budaya demokrasi? Budaya demokrasi adalah pola-pola sikap dan orientasi politik yang bersumber dari nilai-nilai dasar demokrasi yang seharusnya dimiliki oleh setiap warga dari sistem politik demokrasi. Adapun nilai-nilai dasar demokrasi yakni kemerdekaan, persamaan dan solidaritas.
2014. Menurut penanggalan bintang tahun 2104 adalah tahun kuda emas. Namun, pada penanggalan politik, tahun 2014 adalah tahun dimana Indonesia akan menemukan wajah-wajah baru yang akan memimpin negeri ini. Yah, pada tahun ini Indonesia akan melakukan pemilihan umum, mengingat tahun ini masa jabatan presiden-dan wakil presiden akan usai terhitung 5 tahun dari tahun 2009.
Sebanyak 15 partai politik yang terdiri 12 partai nasional dan 3 partai lokal Aceh maju mencalonkan anggotanya dalam pemilihan anggota legislatif pada 9 Maret 2014 lalu. Birunya kelingking menjadi tanda bahwa kita sebagai warga Negara Indonesia telah berpartisipasi dalam menegakan pemerintah yang bersih, jujur dan adil. Transparanisasi dan keikhlasan sangat dibutuhkan dalam kegiatan pesta demokrasi kali ini. Keadaan dibawah tekanan untuk lebih berpihak kesuatu partai karena partai tersebut memberikan iming-iming janji atau biasa disebut politik uang, diharapkan tidak terjadi secara berkelanjutan dari tahun ketahun.
Peran Kaum Muda dalam Kegiatan Pemilihan Umum
Seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, para kaum muda mempunyai rentang usia 16-25 tahun, secara biologis pada usia ini mereka tengah mengalami fase-fase pencarian jati diri. Gelora nasionalisme yang tumbuh bak jamur tumbuh dikala musim hujan.
Pemikiran-pemikiran matang kaum muda tidak jarang membuahkan kesimpulan yang preseptif bagi permasalah yang tengah terjadi di negeri ini. Selain jiwanya yang muda, kaum muda tersebut pun memiliki pemikiran yang muda. Pemikiran muda disini merupakan pemikiran yang bersifat aktual, pemikiran yang diambil dari berbagai sudut pandang yang menjadikan suatu permasalah tidak salah dalam satu pandangan. Karena pada hakikatnya, kaum muda hanya bisa memikirkan, memandang suatu permasalahan berdasarkan yang mereka ketahui dan pahami.
Saat ini, disetiap pelosok daerah di seluruh bagian Negara Indonesia sedang hangat-hangatnya membicarakan mengenai kegiatan pemilu yang akan diselenggarakan dalam  dua kali putaran. Pada tanggal 9 maret kemarin ialah pemilihan umum anggota DPRD dan DPR RI, rakyat Indonesia telah memilih calon ketua dan wakil ketua anggota legislatif. Pada tahun ini ada sekitar 175 juta penduduk dan 23 juta remaja  atau kaum muda di Indonesia yang akan mengikuti pemilihan umum[3]. Walaupun sebagian dari kaum muda tersebut bisa dikatakan sebagai pemula, namun keikutsertaanya dalam mengikuti jalannya pesta demokrasi ini sangatlah dibutuhkan. Jika para remaja tersebut lebih memilih golput maka hak suara mereka akan terbuang dengan percuma. Itu artinya mereka sama sekali tidak berantusias dalam mewujudkan Negara Indonesia makmur dibawah pimpinan mereka yang memang benar-benar memiliki jiwa pemimpin.
Satu Celah Diantara Pemikiran Kaum Muda
Secara logika, yang namanya kaum muda adalah mereka yang mempunyai jiwa muda. Seseorang yang telah lanjut usia pun apabila mereka menganggap jiwa mereka muda, mereka bisa dikatakan muda. Yah muda pemikiran tapi bukan muda raga. Namun, saat ini pokok bahasan yang sedang dikupas ialah kaum muda yang dilihat dari sisi biologis dan dari jiwanya.
Pernahkah terbayangkan bagaimana seorang kaum muda sangat mudah dipengaruhi? Saat ini banyak kaum muda menganggap dunia merekalah yang paling menyenangkan. Mereka bisa melakukan berbagai macam kegiatan yang mereka minati tanpa pikir panjang sebab dan akibatnya. Hampir semua kaum muda dizaman saat ini menganggap bahwa sekolah hanya sebagai formalitas belaka. “Toh ujung-ujungnya juga lulus”, pikir mereka. Bagaimana mau maju bangsa ini. Jika kaum muda saja sulit untuk dididik. Salah satu faktor yang merusak kaum muda saat ini ialah merebaknya sikap apatis dan sifat acuh tak acuh terhadap keadaan Negara. Bagaimana bisa, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik pemikiran mereka dicekoki oleh perubahan teknologi yang semakin hari semakin pesat. Sepasang bola mata yang mereka miliki dipergunakan secara sia-sia. Sepasang bola mata mereka dipasangkan ditempat senyaman mungkin di depan layar putih transparant dengan koneksi internet didalamnya. Sepasang bola mata mereka tidak dipergunakan untuk melihat sedetik saja perubahan yang terjadi di Negara ini.
Jika kita kaitkan dengan kegiatan pemilihan umum kemarin, berapa persenkah angka keikutsertaan para kaum muda? Adakah mereka yang memang benar-benar memilih demi kepentingan pemerintahan bangsa ini? Entahlah.
Pemerintah sangat mengapresiasikan mereka, para kaum muda dalam partisipasinya menyumbangkan satu persatu suara kepemimpinan bagi negeri ini. Memang, memilih pemimpin yang memegang teguh janji sangatlah sulit. Bagai mencari jarum di tumpukan jerami. Namun, walaupun begitu setidaknya usaha untuk mencari telah ada. Tinggal lagi mereka, para calon yang terpilih mengusahakan pewujudan janji-janji besar mereka terhadap rakyat.
Permasalahan Kaum Muda pada Kegiatan Pemilu
Pernahkah Anda berpikiran bahwa seorang kaum muda tidak hanya berperan sebagai pencoblos pada pemilu? Yah, kaum muda bisa saja menjadi peserta pemilu. Karena dilihat dari segi potensi dan pemikirannya kaum muda memiliki pemikiran yang luas, pemikiran yang bisa saja memperbaiki tatanan pemerintahan republik kita ini.
Disisi lain permasalahan besar muncul. Ternyata majunya caleg-caleg muda ini, sebagian besar hanya sebagai trik penggelembungan suara. Bagaimana bisa? Menurut artikel yang saya baca di media sosial, mereka mengatakan bahwa menurut data daftar pemilih tetap, ada sekitar 20-30 persen jumlah pemilih pemula dari total daftar pemilih tetap. Dalam konteks pemilih, sorotan terhadap pemilih pemula menjadi perbincangan karena secara kuantitas jumlahnya cukup signifikan[4]. Data tersebut membuat sejumlah parlemen memutar otak untuk tetap dapat mendapatkan suara terbanyak pada pemilu kali ini. Mereka para anggota perlemen mengusung anggota-anggotanya yang berusia muda sebagai caleg-caleg muda. Strategi ini tentu saja untuk menarik dukungan dari basis pemilih pemula.
Namun, apakah dengan cara tersebut para kaum muda diluaran sana akan memberikan suaranya bagi caleg-caleg muda yang dicalonkan oleh partainya? Belum tentu. Seorang pemilih, atau pemilih pemula tidak serta merta memilih calon legislatif yang memiliki usia yang dirasa sebanding dengan dirinya. Seharusnya, konsep yang dimatangkan tidak hanya dari segi usia. Akan lebih bagus apabila para calon legislatif muda tersebut membawa gagasan-gagasan baru terkait tentang apa-apa yang akan mereka perjuangkan untuk kaum muda. Setidaknya embel-embel tersebut sedikit bisa membantu.
Politik kaum muda bukanlah replikasi politik kaum tua yang sudah usang dimakan zaman. Politik kaum muda juga sebaiknya tidak ditempatkan dalam posisi yang aji mumpung, hanya karena memenuhi syarat untuk mengajukan diri sebagai caleg atau hanya karena punya relasi yang kuat dengan elite partai.
Dan hadirnya politik kaum muda setidaknya memberikan sedikit hawa segar bagi deretan calon legislatif. Setidaknya, mereka memberikan atmosfir baru dalam menarik perhatian semua pemilih yang bosan terhadap muka-muka lama. Bukanya sebagai sarana penggelembungan suara terhadap partai yang mengusung mereka. Sangat disayangkan apabila asset-aset Negara seperti kaum muda yang selayaknya memiliki potensi sebagai penampung aspirasi masyarakat dalam menyuarakan budaya demokrasi, malah tidak bisa bersikap banyak. Karena, keberadaannya sangat ditentukan oleh peran kaum tua.
Kesimpulan
Indonesia sebagai Negara berkembang yang mempunyai sumber daya alam yang melimpah, diharapkan agar bisa dimanfaatkan untuk memfasilitasi serta memakmurkan rakyatnya agar terciptalah sumber daya manusia yang berkualitas, berbasis kompeten dan ber-mindset nasionalisme. Dengan meningkatnya kualitas sumber daya manusia, maka tidak akan ada lagi ‘orang besar memasang perangkap di rumah orang kecil’. Tidak ada lagi pemikiran kaum muda yang dikendalikan oleh kaum-kaum besar.
Jika Negara diibaratkan sebuah apel yang dimakan ulat, maka janganlah kita membuang semua bagian apel tersebut. Kita bisa hanya membuang bagian apel yang dimakan oleh ulat tersebut. Karena pada hakikatnya, seburuk apapun perilaku kita maka kita tidak perlu membunuh diri kita. Begitupun dengan Negara ini, seburuk apapun pemimpin, seburuk apapun perilaku yang telah mereka kerjakan terhadap Negara ini, kita tidak perlu bertindak kejam, karena akan ada waktu dimana kekukuasaan mereka akan usai. Akan ada waktu dimana demokrasi benar-benar dirasakan oleh semua level masyarakat. Tinggal lagi kita sebagai generasi penerus bangsa, untuk mempersiapkan langkah-langkah kemajuan yang akan kita bawa dalam memimpin Negara ini. Sehingga Indonesia berjalan di koridor ketatanegaraan yang diidam-idamkan oleh seluruh rakyat ibu pertiwi.