(Rahma
Nur Auliasari)
“Apabila
seseorang ingin menjajah suatu bangsa maka jajahlah komponen terpenting dari
suatu bangsa tersebut, yakni generasi muda. Gunakanlah hal-hal yang dapat
merusak sifat moralitas dari kaum muda tersebut.”
Pepatah tersebut menunjukan betapa
pentingnya generasi muda dari suatu bangsa. Ibarat permainan estafet, generasi
muda adalah pelari kedua yang siap berjuang membawa tongkat estafet pembangunan
dari pelari pertama yang perlahan akan mundur dari jalur pertandingan. Pelari
pertama hanya bisa memperjuangkan untuk memberikan tongkat estafet perjuangan
dan berharap agar pelari-pelari selanjutnya, yakni generasi muda dapat membawa
tongkat estafet menuju garis final yang diidam-idamkan oleh seluruh masyarakat
Indonesia. Di dalam masyarakat, pemuda merupakan satu identitas yang potensial.
Kedudukannya yang strategis sebagai penerus cita
– cita perjuangan bangsa dan sumber insani bagi pembangunan bangsanya.
Dewasa ini sedang hangat-hangatnya
pemberitaan mengenai kekerasan sekaligus pelecehan seksual pada anak dibawah
umur. Kejadian tersebut adalah salah satu kejadian yang baru muncul kepermukaan
dan menjadi buming seantero Indonesia. Fenomena tersebut setidaknya menjadi
cambukan hebat terhadap para orangtua untuk selalu mengawasi setiap sisi
keseharian mereka. Mengapa? Karena mereka adalah salah satu generasi penerus
bangsa. Walaupun waktunya terhitung masih lama. Namun akan ada waktu dimana
merekalah yang akan memangku dan mengemudikan roda pemerintahan Indonesia.
Alangkah lucunya apabila para generasi penerus bangsa tersebut memiliki akhlak
dan mental yang bobrok jauh sebelum mereka mengerti tentang Negara ini. 
Generasi
Muda
Berbicara mengenai pejuang estafet
bangsa, yah bisa dikatakan pejuang estafet bangsa adalah generasi muda, apa
yang dimaksud dengan generasi muda? Generasi muda adalah kelompok, golongan,
angkatan, kaum muda yang hidup dalam jangka waktu tertentu, dimana mereka
memiliki tugas untuk melanjutkan pembangunan bangsanya sebagaimana tugas-tugas
para angkatan yang hidup sebelum mereka[1]. 
Pada sensus penduduk tahun 2010,tercatat
remaja di Indonesia mencapai 147.338.075 jiwa atau
18,5% dari seluruh penduduk Indonesia[2].
Bisakah Anda bayangkan, betapa banyaknya remaja di Indonesia. Remaja-remaja
atau yang bisa kita sebut sebagai generasi muda tersebut adalah cikal bakal
yang akan menggantikan mereka yang tengah duduk dikursi kekuasaan. Generasi
muda inilah yang akan mengharumkan nama bangsa Indonesia ke kanca internasional
dari berbagai macam bidang yang berbau internasional.
Kaum muda sangatlah dekat
dengan perubahan. Pengaruh-pengaruh yang bersifat positif ataupun negatif sangatlah
mudah untuk masuk dan mengubah pola pikiran suatu kaum muda. Kaum muda yang
memiliki usia rentang 16-25 tahun, secara biologis pada usia-usia tersebut
mereka sedang mengalami masa-masa pencarian jati diri. Semua yang mereka
lakukan selalu benar dan tak pernah salah. Namun, pada masa-masa itulah gelora
nasionalismenya tumbuh dengan subur. Terbukti dari maraknya mahasiswa yang
berpartisipasi dalam demonstrasi masal.
Demokrasi
Indonesia. Indonesia adalah Negara
yang berlabelkan demokrasi. Abraham Lycon mengemukakan suatu teori yang
berbunyi, “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Sederhana memang
kedengarannya. Namun jika kita telaah kembali, teori yang dikemukakan oleh
beliau tersebut mengandung banyak manfaat bila kita terapkan dalam kehidupan
berbangasa dan bernegara. Teori tersebut menjelaskan bahwa rakyat memegang
kuasa penuh atas majunya suatu pemerintahan. 
Namun, saat ini teori
tersebut berjalan tidak sebagaimana mestinya. Banyak para anggota partai
berlomba-lomba mencalonkan diri untuk menjadi wakil rakyat  namun, saat mereka telah terpilih, rakyat
seolah hanya sebagai embel-embel untuk mengumbar janji agar mereka bisa
menguasai negeri ini. Kehidupan rakyat yang berada diambang garis kemiskinan
dirasa tidak sedikit pun mencuri perhatian mereka yang tengah duduk dibangku
kekuasaan untuk meperbaiki secuil saja derajat hidup mereka.
Lalu, kemana jalanya teori
demokrasi saat ini? Masih adakah mereka yang mau menegakan unsur-unsur
demokrasi tersebut.
Apa yang dimaksud budaya demokrasi?
Budaya demokrasi adalah pola-pola sikap dan orientasi politik yang bersumber
dari nilai-nilai dasar demokrasi yang seharusnya dimiliki oleh setiap warga
dari sistem politik demokrasi. Adapun nilai-nilai dasar demokrasi yakni
kemerdekaan, persamaan dan solidaritas.
2014. Menurut penanggalan bintang tahun
2104 adalah tahun kuda emas. Namun, pada penanggalan politik, tahun 2014 adalah
tahun dimana Indonesia akan menemukan wajah-wajah baru yang akan memimpin
negeri ini. Yah, pada tahun ini Indonesia akan melakukan pemilihan umum,
mengingat tahun ini masa jabatan presiden-dan wakil presiden akan usai
terhitung 5 tahun dari tahun 2009.
Sebanyak 15 partai politik yang terdiri
12 partai nasional dan 3 partai lokal Aceh maju mencalonkan anggotanya dalam
pemilihan anggota legislatif pada 9 Maret 2014 lalu. Birunya kelingking menjadi
tanda bahwa kita sebagai warga Negara Indonesia telah berpartisipasi dalam menegakan
pemerintah yang bersih, jujur dan adil. Transparanisasi dan keikhlasan sangat
dibutuhkan dalam kegiatan pesta demokrasi kali ini. Keadaan dibawah tekanan
untuk lebih berpihak kesuatu partai karena partai tersebut memberikan
iming-iming janji atau biasa disebut politik uang, diharapkan tidak terjadi
secara berkelanjutan dari tahun ketahun. 
Peran
Kaum Muda dalam Kegiatan Pemilihan Umum
Seperti yang telah dijelaskan pada paragraf
sebelumnya, para kaum muda mempunyai rentang usia 16-25 tahun, secara biologis
pada usia ini mereka tengah mengalami fase-fase pencarian jati diri. Gelora nasionalisme
yang tumbuh bak jamur tumbuh dikala musim hujan. 
Pemikiran-pemikiran matang kaum muda
tidak jarang membuahkan kesimpulan yang preseptif bagi permasalah yang tengah
terjadi di negeri ini. Selain jiwanya yang muda, kaum muda tersebut pun
memiliki pemikiran yang muda. Pemikiran muda disini merupakan pemikiran yang
bersifat aktual, pemikiran yang diambil dari berbagai sudut pandang yang
menjadikan suatu permasalah tidak salah dalam satu pandangan. Karena pada
hakikatnya, kaum muda hanya bisa memikirkan, memandang suatu permasalahan
berdasarkan yang mereka ketahui dan pahami. 
Saat ini, disetiap pelosok daerah di
seluruh bagian Negara Indonesia sedang hangat-hangatnya membicarakan mengenai
kegiatan pemilu yang akan diselenggarakan dalam  dua kali putaran. Pada tanggal 9 maret kemarin
ialah pemilihan umum anggota DPRD dan DPR RI, rakyat Indonesia telah memilih
calon ketua dan wakil ketua anggota legislatif. Pada tahun ini ada sekitar 175
juta penduduk dan 23 juta remaja  atau
kaum muda di Indonesia yang akan mengikuti pemilihan umum[3].
Walaupun sebagian dari kaum muda tersebut bisa dikatakan sebagai pemula, namun
keikutsertaanya dalam mengikuti jalannya pesta demokrasi ini sangatlah
dibutuhkan. Jika para remaja tersebut lebih memilih golput maka hak suara
mereka akan terbuang dengan percuma. Itu artinya mereka sama sekali tidak
berantusias dalam mewujudkan Negara Indonesia makmur dibawah pimpinan mereka
yang memang benar-benar memiliki jiwa pemimpin.
Satu
Celah Diantara Pemikiran Kaum Muda
Secara logika, yang namanya kaum muda
adalah mereka yang mempunyai jiwa muda. Seseorang yang telah lanjut usia pun
apabila mereka menganggap jiwa mereka muda, mereka bisa dikatakan muda. Yah
muda pemikiran tapi bukan muda raga. Namun, saat ini pokok bahasan yang sedang
dikupas ialah kaum muda yang dilihat dari sisi biologis dan dari jiwanya.
Pernahkah terbayangkan bagaimana seorang
kaum muda sangat mudah dipengaruhi? Saat ini banyak kaum muda menganggap dunia
merekalah yang paling menyenangkan. Mereka bisa melakukan berbagai macam
kegiatan yang mereka minati tanpa pikir panjang sebab dan akibatnya. Hampir
semua kaum muda dizaman saat ini menganggap bahwa sekolah hanya sebagai
formalitas belaka. “Toh ujung-ujungnya juga lulus”, pikir mereka. Bagaimana mau
maju bangsa ini. Jika kaum muda saja sulit untuk dididik. Salah satu faktor
yang merusak kaum muda saat ini ialah merebaknya sikap apatis dan sifat acuh
tak acuh terhadap keadaan Negara. Bagaimana bisa, setiap jam, setiap menit,
bahkan setiap detik pemikiran mereka dicekoki oleh perubahan teknologi yang
semakin hari semakin pesat. Sepasang bola mata yang mereka miliki dipergunakan
secara sia-sia. Sepasang bola mata mereka dipasangkan ditempat senyaman mungkin
di depan layar putih transparant dengan koneksi internet didalamnya. Sepasang
bola mata mereka tidak dipergunakan untuk melihat sedetik saja perubahan yang
terjadi di Negara ini.
Jika kita kaitkan dengan kegiatan
pemilihan umum kemarin, berapa persenkah angka keikutsertaan para kaum muda?
Adakah mereka yang memang benar-benar memilih demi kepentingan pemerintahan
bangsa ini? Entahlah. 
Pemerintah sangat mengapresiasikan
mereka, para kaum muda dalam partisipasinya menyumbangkan satu persatu suara
kepemimpinan bagi negeri ini. Memang, memilih pemimpin yang memegang teguh
janji sangatlah sulit. Bagai mencari jarum di tumpukan jerami. Namun, walaupun begitu
setidaknya usaha untuk mencari telah ada. Tinggal lagi mereka, para calon yang
terpilih mengusahakan pewujudan janji-janji besar mereka terhadap rakyat.
Permasalahan
Kaum Muda pada Kegiatan Pemilu
Pernahkah Anda berpikiran bahwa seorang
kaum muda tidak hanya berperan sebagai pencoblos pada pemilu? Yah, kaum muda
bisa saja menjadi peserta pemilu. Karena dilihat dari segi potensi dan
pemikirannya kaum muda memiliki pemikiran yang luas, pemikiran yang bisa saja
memperbaiki tatanan pemerintahan republik kita ini.
Disisi lain permasalahan besar muncul. Ternyata
majunya caleg-caleg muda ini, sebagian besar hanya sebagai trik penggelembungan
suara. Bagaimana bisa? Menurut artikel yang saya baca di media sosial, mereka
mengatakan bahwa menurut data daftar pemilih tetap, ada sekitar 20-30 persen
jumlah pemilih pemula dari total daftar pemilih tetap. Dalam
konteks pemilih, sorotan terhadap pemilih pemula menjadi perbincangan karena
secara kuantitas jumlahnya cukup signifikan[4].
Data tersebut membuat sejumlah parlemen memutar otak untuk tetap dapat
mendapatkan suara terbanyak pada pemilu kali ini. Mereka para anggota perlemen
mengusung anggota-anggotanya yang berusia muda sebagai caleg-caleg muda. Strategi
ini tentu saja untuk menarik dukungan dari basis pemilih pemula.
Namun, apakah dengan cara tersebut para
kaum muda diluaran sana akan memberikan suaranya bagi caleg-caleg muda yang
dicalonkan oleh partainya? Belum tentu. Seorang pemilih, atau pemilih pemula
tidak serta merta memilih calon legislatif yang memiliki usia yang dirasa
sebanding dengan dirinya. Seharusnya, konsep yang dimatangkan tidak hanya dari
segi usia. Akan lebih bagus apabila para calon legislatif muda tersebut membawa
gagasan-gagasan baru terkait tentang apa-apa yang akan mereka perjuangkan untuk
kaum muda. Setidaknya embel-embel tersebut sedikit bisa membantu.
Politik kaum muda bukanlah replikasi
politik kaum tua yang sudah usang dimakan zaman. Politik kaum muda juga
sebaiknya tidak ditempatkan dalam posisi yang aji mumpung, hanya karena
memenuhi syarat untuk mengajukan diri sebagai caleg atau hanya karena punya
relasi yang kuat dengan elite partai.
Dan hadirnya politik kaum muda
setidaknya memberikan sedikit hawa segar bagi deretan calon legislatif. Setidaknya,
mereka memberikan atmosfir baru dalam menarik perhatian semua pemilih yang
bosan terhadap muka-muka lama. Bukanya sebagai sarana penggelembungan suara terhadap
partai yang mengusung mereka. Sangat disayangkan apabila asset-aset Negara
seperti kaum muda yang selayaknya memiliki potensi sebagai penampung aspirasi
masyarakat dalam menyuarakan budaya demokrasi, malah tidak bisa bersikap
banyak. Karena, keberadaannya sangat ditentukan oleh peran kaum tua. 
Kesimpulan
Indonesia sebagai Negara berkembang yang
mempunyai sumber daya alam yang melimpah, diharapkan agar bisa dimanfaatkan
untuk memfasilitasi serta memakmurkan rakyatnya agar terciptalah sumber daya
manusia yang berkualitas, berbasis kompeten dan ber-mindset nasionalisme. Dengan meningkatnya kualitas sumber daya
manusia, maka tidak akan ada lagi ‘orang besar memasang perangkap di rumah
orang kecil’. Tidak ada lagi pemikiran kaum muda yang dikendalikan oleh
kaum-kaum besar.
Jika Negara diibaratkan sebuah apel yang
dimakan ulat, maka janganlah kita membuang semua bagian apel tersebut. Kita
bisa hanya membuang bagian apel yang dimakan oleh ulat tersebut. Karena pada
hakikatnya, seburuk apapun perilaku kita maka kita tidak perlu membunuh diri
kita. Begitupun dengan Negara ini, seburuk apapun pemimpin, seburuk apapun
perilaku yang telah mereka kerjakan terhadap Negara ini, kita tidak perlu
bertindak kejam, karena akan ada waktu dimana kekukuasaan mereka akan usai.
Akan ada waktu dimana demokrasi benar-benar dirasakan oleh semua level
masyarakat. Tinggal lagi kita sebagai generasi penerus bangsa, untuk
mempersiapkan langkah-langkah kemajuan yang akan kita bawa dalam memimpin
Negara ini. Sehingga Indonesia berjalan di koridor ketatanegaraan yang
diidam-idamkan oleh seluruh rakyat ibu pertiwi.
[1]http://liveintranet.blogspot.com/2014/01/pendidikan-akhlak-generasi-muda.html (diakses pada 12 April 2014)
[2] http://yundahamasah.blogspot.com/2013/01/kesehatan-reproduksi-remaja.html( diakses pada 12 April 2014)
[3] http://www.aktiflab.com/2014/03/24/23-juta-lebih-suara-anak-muda-dalam-pemilu-2014/
(diakses pada 20 April 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar